Makkah & Madinah Slideshow: Farrukh’s trip to Indonesia was created with TripAdvisor TripWow!

Kamis, 25 Juli 2013

Kisah Tauladhan

Peperangan di Bulan Ramadhan (Bagian 1)


kafilah
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia yang memiliki banyak keutamaan. Pada bulan ini umat Islam diwajibkan berpuasa, menahan diri dari hal-hal yang semulanya boleh untuk tidak dilakukan demi menaati Rabb semesta alam. Selain dikenal dengan bulan ibadah, bulan ini juga merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Banyak persitiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi pada bulan ini. Berikut ini beberapa peristiwa besar dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Ramadhan.

Perang Badar

Kalau kita kumpulkan semua peristiwa-peristiwa sejarah Islam yang terjadi di bulan Ramadhan, tentu saja kisah Perang Badar adalah peritiwa yang paling terkenal dan sangat banyak terdapat hikmah dan pelajaran.
Perang ini adalah perang besar pertama yang terjadi antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir, yang ingkar kepada Allah. Tidak ada satu pun orang munafik yang turut serta dalam perang ini, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin setiap sahabat yang wafat di Perang Badar adalah syuhada dan dijamin surga.
Awalnya Rasulullah dan para sahabatnya tidak mengira akan terjadi peperangan, beliau beserta para sahabat hanya ingin mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan dengan harta 1000 ekor onta yang disesaki harta senilai 50.000 dinar emas. Alasan pencegatan ini adalah orang-orang Quraisy adalah orang kafir yang mengumandangkan peperangan terhadap umat Islam (kafir harbi), merampas harta mereka ketika di Mekah, dan mengusir mereka dari wilayah tersebut. Tidak disangka ternyata berita pencegatan ini sampai ke telinga pembesar-pembesar Quraisy di Mekah. Mereka pun keluar dengan kekuatan besar menghadapi pasukan muslim.
Bertemulah dua pasukannya yang tidak imbang jumlahnya; pasukan Islam 314 orang dan pasukan Mekah berjumlah 1300 orang. Rasulullah sempat merasa khawatir akan hal ini, beliau juga belum menyaksikan loyalitas penduduk (pasukan) Madinah di tengah masa-masa sulit. Adapun pasukan Mekah beliau tahu karena telah bersama-sama mengalami masa-masa sulit, sehingga ketika Abu Bakar dan Umar yang meyakinkan Rasulullah, Rasulullah belum merasa puas, Rasulullah menunggu reaksi pasukan Madinah. Akhirnya berbicaralah salah seorang Anshar, al-Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, biar kami duduk menanti di sini saja.” Kemudian al-Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah Anda bersama Rab Anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai Anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kami pun siap bertempur bersama Anda hingga Anda bisa mencapai tempat itu.”
Pada malam 17 Ramadhan 2H, Rasulullah menyibukkan diri dengan doa untuk pertempuran esok hari. Beliau mendoakan dan menyebutkan satu per satu nama-nama tokoh Quraisy, Abu Jahl dll agar dibinaskan di pertempuran esok hari. Benar saja, tidak satu pun nama yang beliau sebutkan melainkan tewas di Badr.
war of badar 564x240 Peperangan di Bulan Ramadhan (Bagian 1)
Keesokan harinya berkecamuklah peperangan, lemparan tombak dan gemertak pedang yang beradu memenuhi medan Badar. Dengan jumlah yang sangat minim, pasukan Islam sempat terdesak dan berpotensi mengalami kekalahan. Akhirnya, Allah turunkan bala bantuan dengan diturunkannya pasukan langit yaitu para malaikat. Tidak tanggung-tanggung, pemimpinnya para malaikat pun, Malaikat Jibril, turun dari langit dan ikut serta dalam peperangan. Rasulullah bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar, pertolongan Allah sudah dating. Ini Jibril sedang memegang tengkuk kuda guna memacunya, yang pada gigi serinya terdapat debu.”
Allah pun memenangkan pembela-pembela agamanya dan menghinakan pasukan iblis. Tewaslah semua pembesar-pembesar Quraisy yang turut serta dalam peperangan sehingga meninggalkan duka yang mndalam dan mental yang jatuh di kalangan orang-orang Mekah.
Penaklukkan Kota Mekah
Peristiwa lain di bulan Ramadhan yang menorehkan sejarah besar dalam perjalanan umat Islam adalah peristiwa penaklukkan kota Mekah. Peristiwa besar ini terjadi karena penghianatan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah. Salah satu poin perjanjian adalah “Barangsiapa yang ingin masuk ke kelompok Rasulullah, maka dipersilahkan bergabung dan yang ingin bergabung dengan orang-orang Mekah juga dipersilahkan bergabung. Kabilah manapun yang bergabung dengan salah satu kelompok ini, maka ia adalah sekutu dari kelompok tersebut. Dan permusuhan yang ditujukan kepada kabilah-kabilah tersebut, dianggap permusuhan terhadap kelompok tersebut.” Sesuai dengan perjanjian, Bani Khuza’ah masuk ke kelompok Rasulullah dan Bani Bakr bergabung dengan orang-orang Quraisy lainnya.
Ternyata Bani Bakr memanfaatkan kondsi damai ini untuk melancarkan serangan kepada Bani Khuza’ah, agar mereka bisa membunuh orang-orang Khuza’ah tanpa mereka bersiap mengadakan perlawanan. Di suatu malam Bani Bakr mulai keluar dan menuju tempat Bani Khuza’ah. Mereka memburu Bani Khuza’ah sampai orang-orang Khuza’ah berlari ke tanah haram agar aman dari pembunuhan. Salah seorang dari Bani Bakr menyeru pemimpinnya yang bernama Naufal, “Wahai Naufal, sesungguhnya kita memasuki tanah haram. Ingatlah Tuhanmu, Tuhanmu.” Naufal malah menjawab, “Wahai Bani Bakr, tidak ada Tuhan pada hari ini!! Balaskan dendam kalian!! Aku bersumpah, kalau perlu kalian boleh mencuri di tanah haram. Tunggu apa lagi, balaskan dendam kalian di dalam tanah haram!!” Dan terjadilah pembantaian di tanah haram. Peristiwa ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian damai yang telah disepakati, perjanjian damai Hudaibiyah telah dirobek-robek oleh orang-orang Quraisy karena membiarkan sekutu mereka membantai sekutu Nabi Muhammad.
Sampailah kabar tersebut ke telinga Rasulullah, beliau pun memenuhi janjinya terhadap sekutunya, Bani Khuza’ah. Abu Sufyan (yang saat itu masih kafir) datang langsung menemui Rasulullah di Madinah, melobi beliau agar mau memaafkan penghianatan tersebut. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah, Abu Sufyan datang menemui istri Rasulullah yang merupakan anak kandungnya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, agar anaknya mau melobi Rasulullah. Ternyata Ummu Habibah pun tegas menolak keinginan sang ayah, bahkan ia tidak sudi tikar yang biasa dipakai Rasulullah duduk di rumahnya diduduki sang ayah yang kala itu adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.
Abu Sufyan terus melobi orang-orang dekat Rasulullah sampai Abu Bakar, Umar, dan Ali bin Abi Thalib, agar melobi Rasulullah untuk mengurungkan niat menyerang Mekah. Mereka semua tidak bisa memberikan solusi bagi Abu Sufyan. Ia pun pulang ke Mekah dan membawa kabar genting bahwa Muhammad akan menyerang Mekah.
Setelah sepuluh hari lebih bulan Ramadhan tahun 8 H, Rasulullah berangkat ke Mekah bersama 10.000 orang sahabat. Tidak ada satu pun orang Quraisy yang mengetahui keberangkatan beliau dan pasukannya menuju Mekah. Seluruh pasukan Islam memasuki Mekah melalui jalur-jalur yang telah direncanakan sebelumnya, penduduk Mekah pun sangat terkejut dengan kedatangan kaum muslimin. Mereka yang sudah takut sebelumnya, semakin Allah tambahkan rasa takut di dalam hati mereka. Akhirnya Mekah pun ditaklukkan, Rasulullah dan para sahabat Muhajirin memasuki kampung halaman mereka yang telah lama mereka tinggalkan.
makkah 564x372 Peperangan di Bulan Ramadhan (Bagian 1)
Inilah langkah besar pasukan Islam untuk menyerukan Islam di wilayah-wilayah Arab lainnya, karena Mekah menjadi panutan bagi bangsa-bangsa Arab sekitarnya.

Perang Ain Jalut

Tentu saja Perang Ain Jalut ini tidak sepopuler dua peristiwa besar di atas. Mungkin seseorang apabila ditanyakan “Pihak mana yang berperang dalam Perang Ain Jalut?” “Perang Ain Jalut? Saya baru pertama ini mendengarnya.” Kira-kira begitu, walaupun tidak semua.
Ain Jalut map final Peperangan di Bulan Ramadhan (Bagian 1)
Perang Ain Jalut adalah perang besar yang terjadi pada 3 September 1260 antara orang-orang muslim Mamluk (Turki) dengan bangsa Shamanis Mongol. Perang ini sekaligus menjadi kekalahan pertama pasukan Mongol setelah sebelumnya mereka menaklukkan negeri-negeri besar seperti Cina dan Abbasiyah dan kerajaan-kerajaan kecil yang tidak terhitung jumlahnya.
Ketika Mongke Khan, cucu dari Jenghis Khan, menjadi raja agung Mongol, ia bercita-cita melanjutkan ambisi kakeknya untuk menaklukkan negeri-negeri dunia. Setelah sepupunya Hulagu Khan menguasai sebagian besar wilayah Asia Barat dengan menaklukkan Abbasiyah, Mongke memintanya untuk terus memperluas wilayah kekuasaan. Target berikutnya adalah Kesultanan Mamluk.
Mongke mengirim surat kepada Sultan Mamluk, Sultan Qutuz, untuk tunduk dan patuh di bawah kekuasaannya. Ia menakut-nakuti Sultan Qutuz bahwa mereka akan menjadikan kesultanan Mamluk seperti wilayah-wilayah lainnya yang telah mereka kalahkan apabila tidak mau menyerah.
Di saat tekanan dari Mongol kian menakutkan, Allah pun menakdirkan sebuah peluang yang bisa menjadi celah bagi bangsa Mongol untuk bisa dikalahkan. Khan Agung, Mongke Khan wafat di tengah ambisinya menaklukkan Mamluk. Para pemimpin senior Mongol pun kembali ke ibu kota Korakorum untuk menghadiri upacara pemakamannya, tidak terkecuali Hulagu Khan. Jumlah pasukan Hulagu pun berkurang, ia hanya meninggalkan 10.000 sampai 20.000 pasukan di wilayahnya dengna dipimpin oleh Panglima Benteke.
Pada tanggal 3 September 1260, dua pasukan besar Islam dan Mongol pun bertemu. Jumlah pasukan kedua kelompok berimbang yakni masing-masing membawa 20.000 pasukan. Pertempuran berjalan sengit, pasukan Qutuz sempat terdesak dengan tekanan yang dilakukan pasukan Mongol yang memang dikenal tangguh dan ahli dalam peperangan. Sayap kiri pasukan Qutuz hamper saja terkalahkan dan dipukul mundur, namun Qutuz membuka pelindung kepalanya lalu menghampiri pasukan tersebut agar mereka tetap semangat dan sultan pun masih setia di medan laga. Akhirnya pasukan Mongol yang dipimpin oleh Kitbuga ini pun berhasil dikalahkan. Inilah kekalahan pertama pasukan Mongol dalam penaklukkan-penaklukkan mereka.
Bersambung insya Allah..
Ditulis oleh Nurfitri Hadi, M.A.
Artikel www.KisahMuslim.com

Senin, 20 Mei 2013

Kisah Qoilulah Generasi Salaf


 Telah diketengahkan pada tulisan sebelumnya tentang indahnya sunnah qoilulah dengan beberapa keutamaannya. Pada tulisan ini akan disampaikan beberapa kisah qoilulah generasi terbaik umat ini. Semoga bermanfaat.
1.     Atsar Umar bin Khattab
Atsar ini telah kami bawakan pada tulisan sebelumnya. Adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, tatkala ia mendengar sebuah kabar, bahwa seorang pekerjanya tidak tidur siang, Umar mengirim surat kepadanya yang berisi: Amma ba’du, tidur sianglah engkau, karena setan itu tidak tidur siang.
As-Sa-ib pernah bercerita: “Adalah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati kami di tengah hari –atau mendekati tengah hari- lalu ia berkata: Bergegas tidur sianglah kalian, waktu yang tersisa biar untuk setan. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 939)
2.   Kisah qoilulah Ali bin Abi Thalib
Kisah ini berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang dipanggil dengan kunyah Abu Thurab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha. Namun beliau tidak mendapatkan Ali berada di sana. Beliau bertanya: Dimana suamimu? Fatimah menjawab: Diantara kami ada sedikit masalah, sehingga ia marah kepadaku, lalu ia keluar dan tidak tidur siang di sisiku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang: Coba lihat, dimana dia berada.
Setelah beberapa saat orang itu datang dan berkata: Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di masjid. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Ketika itu, ia sedang tidur siang di masjid. Sementara selendangnya terjatuh dari badannya, dan debu pun menerpanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membersihkan debu dari badannya seraya bersabda: Bangunlah wahai abu thurab, Bangunlah wahai abu thurab. (HR. al-Bukhari, No. 441, 3703, 6204, 6280, Muslim, no. 2409)
3.     Atsar Ibnu Abbas
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, mengisahkan perjalanan dirinya dalam menuntut ilmu: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, aku berkata kepada seorang dari kaum Anshar: Kemarilah engkau, ayo kita bertanya kepada Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mumpung jumlah mereka saat ini masih banyak.
Orang itu berkata: Engkau ini aneh, ya Ibnu Abbas, apakah engkau mengira orang-orang nantinya akan membutuhkanmu? Sementara itu di tengah-tengah mereka masih ada sahabat dan orang-orang senior lainnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: Orang itupun pergi, lalu aku mulai bertanya tentang hadits kepada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sampai kepadaku kabar tentang hadits yang ada pada seorang sahabat, aku langsung pergi untuk mendatangi rumahnya. Tatkala itu ia sedang tidur siang, maka akupun berbaring dengan selendangku di depan pintu rumahnya, sampai-sampai debu beterbangan menerpa wajahku. Ketika keluar ia berkata: Wahai sepupu Rasulullah, apa tujuanmu datang kemari, mengapa engkau tidak mengirim utusan agar aku yang datang sendiri menemuimu?
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: Aku lebih berhak untuk mendatangimu. Kemudian akupun bertanya seputar hadits kepadanya. Orang dari kaum Anshar itu ternyata masih hidup. Hingga akhirnya pada suatu saat ia melihatku, ketika orang-orang berkumpul di sekitarku untuk menimba ilmu dariku. Ia berucap: Pemuda ini ternyata lebih cerdas dari diriku.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga pernah berkata: Aku mendapati kebanyakan ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada perkampungan dari kaum Anshar ini. Sungguh, aku dahulu pernah tidur siang di depan pintu rumah seorang dari mereka. Andai saja aku mau, pasti ia sudah mengizinkan aku untuk masuk. Namun, aku tidak akan melakukannya, supaya dia ridha dalam menyampaikan ilmunya. (Hilyatul ‘Alim al-Mu’allim wa Bulghatuth Thabil al-Muta’allim, hal. 26)
4.     Atsar Abdullah bin Mas’ud
Dari as-Saib bin Yazid, dari Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Terkadang beberapa orang Quraisy duduk-duduk di depan pintu rumah Ibnu Mas’ud radha. Tatkala matahari telah tergelincir beliau berkata: Bangkit dan tidur sianglah kalian, waktu yang tersisa biar untuk setan.
Kemudian tidaklah beliau melewati seseorang, melainkan ia menyuruhnya bergegas untuk mengerjakan tidur siang. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 939)
5.     Atsar Anas bin Malik
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berucap: Kami dahulu bersegera pergi ke shalat jum’at, kemudian kami tidur siang setelah mengerjakan shalat jum’at. (HR. al-Bukhari, no. 905 & 940)
6.     Atsar Sahl bin Sa’ad
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami dahulu tidak tidur (tengah hari) dan makan siang, melainkan setelah mengerjakan shalat jum’at.
Dalam redaksi yang lain disebutkan: Kami dahulu mengerjakan shalat jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baru tidur siang. (HR. al-Bukhari, no. 939, 941, 2349, 5403, 6248, Muslim, no. 859)
7.     Komenatar Khowwat bin Jubair
Khowwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: Tidur di permulaan hari adalah kebodohan, dipertengahannya adalah akhlak (terpuji), dan diakhir hari merupakan perbuatan dungu. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 942)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: Ucapannya, “dan di akhir hari merupakan perbuatan dungu“, pada hakekatnya, dungu adalah –sebagaimana di sebutkan di kitab an-Nihayah- meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, meskipun ia tahu bahwa itu adalah buruk. Dari sini dapat dipahami, adanya pujian bagi mereka yang mengerjakan tidur siang hari. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 942 pada catatan kaki)
8.     Komentar seputar qoilulah
Al-Khallal berkata: Dianjurkan tidur pada pertengahan hari.
Abdullah berkata: Ayahku dahulu selalu tidur tengah hari, baik musim dingin maupun panas, ia tidak pernah meninggalkannya dan mengajakku untuk mengerjakannya. Beliau bertutur: Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: Tidur sianglah kalian, sebab setan itu tidak tidur siang.
Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, Muhammad, ia berkata: Tidur tengah hari dapat menambah kecerdasan. Abdullah bin Syubrumah bertutur: Tidur tengah hari sebanding dengan minum obat. Sebagian orang bijak berkata: Rasa kantuk dapat menghilangkan kecerdasan, sedangkan tidur siang dapat menambah kecerdasan. (Al-Adab asy-Syar’iyyah, juz 3, hlm 146-148)
selesai, walhamdulillah.

Kisah Islami


Sosok Tabi’in – Rufai’ bin Mihraan

berdoa2Rufai’ bin Mihraan  yang dijuluki Abu Al-‘Aliyah termasuk ulama di antara kaum muslimin, tokoh di antara tokoh-tokoh penghafal Al-Qur’an dan muhadditsin. Beliau termasuk tabi’in yang paling tahu tentang Kitabullah, paling paham terhadap hadits Rasulullah saw., paling banyak kadar pemahamannya terhadat Al-Qur’an Al-Aziz dan paling mendalami maksud dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Maka marilah kita menelusuri sejarah hidupnya dari awal. Sejarah hidupnya penuh dengan sikap teladan dan kemuliaan, melimpah dengan nasihat dan pelajaran yang berharga. Rufai’ bin Mihraan lahir di Persi. Di negeri itu pula beliau tumbuh besar. Ketika kaum muslimin masuk ke negeri Persi untuk mengeluarkan penduduknya dari kegelapan menuju cahaya. Rufai’ termasuk salah satu pemuda yang jatuh ke tangan kaum muslimin  yang penyayang, lalu dibawa ke pangkuan mereka yang serat dengan kebaikan dan kemuliaan. Kemudian beberapa saat dia dan juga yang lain memperlihatkan keluhuran Islam, lalu membandingkan dengan apa yang mereka anut sebagai penyembah berhala, akhirnya mereka masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Kemudian mereka mulai mempelajari Kitabullah, mereka pun haus akan hadits-hadits Rasulullah saw.
Rufai’ bercerita tentang apa yang beliau alami: Aku dan beberapa orang dari kaumku menjadi tawanan mujahidin, kemudian kami menjadi budak bagi sekelompok kaum muslimin di Bashrah. Tidak berapa lama kemudian akhirnya kami beriman kepada Allah dan tertarik untuk menghafalkan Kitabullah. Di antara kami ada yang menebut dirinya kepada majikannya dan ada  yang tetap berkhidmat kepada majikannya. Saya adalah salah satu di antara mereka. Pada mulanya kami menghafalkan Al-Qur’an setiap malam sekali, namun hal itu sangat memberatkan kami.
Lalu kami sepakati untuk mengkhatamkan dua malam sekali, namun itu masih terasa berat bagi kami. Kemudian kami sepakat untuk mengkhatamkan Al-Qur’an tiga hari sekali, namun masih berat juga kami rasakan karena harus banyak bekerja siang harinya dan begadang di malam harinya. Kemudian kami menemui sebagian sahabat Nabi saw. dan mengeluhkan keadaan kami yang harus begadang semalam untuk tilawah Kitabullah. Mereka berkata, “Khatamkanlah setiap Jum’at sekali.” Maka kami pun mengerjakan apa yang mereka sarankan. Kami membaca Al-Qur’an pada sebagian malam dan bisa tidur sebagian malam dan setelah itu kami tidak merasakan keberatan. Rufai’ bin Mihran dimiliki oleh seorang majikan wanita dari Bani Tamim. Dia adalah seoang majikan yang teguh, cerdas dan terhormat juga jiwanya penuh dengan takwa dan keimanan. Rufai’ membantunya pada sebagian siang dan istrihat pada sebagian siang yang lain. Beliau gunakan waktu senggangnya untuk membaca dan menulis. Beliau pergunakan untuk memperdalam ilmu agama tanpa sedikitpun mengganggu tugas-tugasnya.
Suatu hari Jum’at, Rufai’ berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian meminta ijin kepada majikannya untuk pergi. Majikannya berkata, “Hendak kemanakah kamu wahai Rufai’?” Rufai’ menjawab, “Saya hendak ke masjid.” Majikannya bertanya, “Masjid manakah yang engkau maksud?” Jawabnya, “Masjid Jami’” majikannya berkata, “Kalau begitu marilah berangkat bersamaku.” Maka keduanya berangkat ke masjid lalu masuk masjid seperti yang lain. Namun Rufai’ belum memahami apa tujuan majikannya. Ketika kaum muslimin telah berkumpul, majikan Rufai’ angkat bicara, “Saksikanlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memerdekakan budakku ini (Rufai’) karena mengharap pahal Allah, memohon ampunan dan ridha-Nya. Dan bahwasanya tidak layak seseorang menempuh suatu jalan melainkan jalan yang baik.” Lalu dia menoleh kepada Rufai’ dan berdo’a kepada Allah: “Ya Allah, aku menjadikannya sebagai tabungan di sisi-Mu di hari dimana tiada manfaatnya harta dan anak-anak.”
Ketika selesai shalat, Rufai’ telah berjalan sendiri sedangkan majikannya telah berjalan sendiri pula. Sejak hari itu, Rufai’ bin Mihran sering bolak-balik ke Madinah Al-Munawarah. Beliau sempat bertemu dengan Ash-Shidiq r.a. beberapa saat sebelum wafatnya. Beliau juga beruntung dapat bertemua amirul mukminin (Umar bin Khaththab), belajar Al-Qur’an kepadanya dan shalat di belakangnya. Di samping berkutat dengan Kitabullah, Rufai’ yang julukannya adalah Abu Al-Aliyah ini juga akrab dengan hadits-hadits Rasulullah saw. sehingga beliau berusaha mendengarkan  riwayat hadits dari para tabi’in yang beliau temui di Bashrah. Akan tetapi muncul keinginan kuat dalam jiwanya untuk lebih dari itu. Maka seringkali beliau meluangkan waktu untuk pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadits langsung dari para sahabat Rasulullah saw., sehingga tiada pembatas antara dirinya dengan Nabi saw suatu kenikmatan yang tiada tara tentunya.

Jumat, 17 Mei 2013

KISAH PARA TABIIN

Uwais al Qarni, penghuni langit

Uwais al-Qarni adalah di kalangan tabi’in (hidup selepas kewafatan Rasulullah SAW, dan bertemu dengan para sahabat). Sejak dilahirkan beliau berpenyakit sopak dan ayahnya telah meninggal dunia. Ibunyalah yang menjaganya sejak kecil sehingga beliau dewasa.
Uwais al Qarni adalah seorang tabiin yang namanya disebut di dalam wasiat Baginda SAW yang disampaikan kepada Saidina Umar al-Khattab dan Saidina Ali KaramAllahu wajhah. Baginda SAW berpesan:
“Di zaman kamu nanti akan lahir seorang insan yang doa dia sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman dan dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdoa untuk kamu berdua.”
Lalu Saidina Umar dan Saidina Ali bertanya: “Apakah yang patut saya minta daripada Uwais al-Qarni, Ya Rasulullah? Nabi SAW menjawab: “Kamu minta kepadanya supaya dia berdoa kepada Allah (SWT) agar Allah (SWT) ampunkan dosa-dosa kalian”.
Setelah Baginda SAW wafat, Saidina Umar dan Ali menunggu-nunggu kafilah yang datang dari arah Yaman. Sehingga akhirnya mereka bertemu dengan Uwais al-Qarni.
Jika dilihat dari pandangan orang biasa, Uwais al-Qarni tiada ciri-ciri istimewa kerana dari pandangan luaran beliau seperti orang yang tidak sempurna akal, tetapi beliau ada sesuatu yang kita tidak ketahui..
Kisah Uwais al-Qarni
Beliau mempunyai seorang ibu yang sudah uzur dan lumpuh. Ibunya mempunyai hajat untuk menunaikan haji di Mekah. Namun dengan kudrat yang sebegitu, ibu Uwais tidak mampu untuk ke Mekah berjalan seorang diri. Lalu dia mengutarakan hasratnya kepada Uwais supaya mengikhtiarkan sesuatu agar dia boleh dibawa ke Mekah menunaikan haji.
Sebagai seorang yang miskin, Uwais tidak berdaya untuk mencari perbelanjaan untuk ibunya kerana pada zaman itu kebanyakan orang untuk pergi haji dari Yaman ke Mekah mereka menyediakan beberapa ekor unta yang dipasang diatasnya “Haudat”. Haudat ini seperti rumah kecil yang diletakkan di atas unta untuk melindungi panas matahari dan hujan, selesa dan perbelanjaannya mahal. Uwais tidak mampu untuk menyediakan yang demikian, unta pun dia tidak ada, nak sewa pun tidak mampu.
Ibunya semakin tua, lalu ibunya berkata: “Anakku mungkin ibu dah tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkanlah agar ibu dapat mengerjakan haji”.
Uwais mendapat satu ilham… Dia membeli seekor anak lembu yang baru lahir dan dah habis menyusu. Dia membuat sebuah rumah kecil (pondok) di atas sebuah “Tilal” iaitu sebuah tanah tinggi (Dia buat rumah untuk lembu itu di atas bukit).
Apa yang dia lakukan, pada petang hari dia dukung anak lembu itu untuk naik ke atas “Tilal”. Pagi esoknya dia dukung lembu itu lagi turun dari “Tilal” untuk diberi makan. Itulah yang dilakukannya setiap hari. Ada ketikanya dia mendukung lembu itu mengelilingi bukit tempat dia beri lembu itu makan.
Perbuatan yang dilakukannya ini menyebabkan orang ramai mengatakan dia gila. Memang pelik, buatkan rumah untuk lembu di atas bukit, kemudian setiap hari usung lembu, petang bawa naik, pagi bawa turun bukit.
Tetapi sebenarnya niatnya baik. Kalau lembu kita buat begitu pagi sekali petang sekali daripada lembu yang beratnya 20 kilogram, selepas enam bulan lembu itu sudah menjadi 100 kilogram. Otot-otot tangan dan badan Uwais menjadi kuat hinggakan dengan mudah mengangkat lembu seberat 100 kilogram turun dan naik bukit.
Selepas lapan bulan dia buat demikian telah sampai musim haji, rupa-rupanya perbuatannya itu adalah satu persediaan untuk dia membawa ibunya mengerjakan haji. Dia telah memangku ibunya dari Yaman sampai ke Mekkah dengan kedua tangannya.
Dibelakangnya dia meletakkan barang-barang keperluan seperti air, roti dan sebagainya. Lembu yang beratnya 100 kilogram boleh didukung dan dipangku inikan pula ibunya yang berat sekitar 50 kilogram.
Dia membawa (mendukung dan memangku) ibunya dengan kedua tangannya dari Yaman ke Mekah, mengerjakan Tawaf, Saie dan di Padang Arafah dengan senang sahaja. Dan dia juga memangku ibunya dengan kedua tangannya pulang semula ke Yaman dari Mekah.
Pulang sahaja ke Yaman, ibunya bertanya: “Uwais, apa yang kamu berdoa sepanjang kamu berada di Mekah?”.
Uwais menjawab: “Saya berdoa minta supaya Allah (SWT) mengampunkan semua dosa-dosa ibu”.
Ibunya bertanya lagi: “Bagaimana pula dengan dosa kamu”.
Uwais menjawab: “Dengan terampun dosa ibu, ibu akan masuk syurga, cukuplah ibu redha dengan saya, maka saya juga masuk syurga”.
Ibunya berkata lagi: “Ibu nak supaya engkau berdoa agar Allah (SWT) hilangkan sakit putih (sopak) kamu ini”.
Uwais kata” “Saya keberatan untuk berdoa kerana ini Allah (SWT) yang jadikan. Kalau tidak redha dengan kejadian Allah (SWT), seperti saya tidak bersyukur dengan Allah (SWT) Ta’ala”.
Ibunya menambah: “Kalau nak masuk syurga, kena taat kepada perintah ibu, Ibu perintahkan engkau berdoa”.
Akhirnya Uwais tidak ada pilihan melainkan mengangkat tangan dan berdoa. Uwais berdoa seperti yang ibu dia minta supaya Allah (SWT) sembuhkan putih yang luar biasa (sopak) yang dihidapinya itu. Tetapi kerana dia takut masih ada dosa pada dirinya dia berdoa:
“Tolonglah Ya Allah (SWT) kerana ibu aku suruh aku berdoa hilangkan yang putih pada badanku ini melainkan tinggalkan sedikit”.
Maka, Allah (SWT) memakbulkan doanya dan menghilangkan penyakit sopak di seluruh badannya kecuali meninggalkan setompok di bahagian lehernya. Dan tanda itulah yang disebutkan oleh Rasulullah SAW kepada Saidina Umar al-Khattab dan Saidina Ali untuk mengenali Uwais al-Qarni.
Setelah ibunya meninggal, Uwais menjadi seorang yang soleh dan darjatnya ditinggikan sehingga dia menjadi seorang yang doanya paling makbul.
Apabila bertemu dengan Uwais al-Qarni, mereka berdua pun meminta Uwais mendoakan supaya dosa mereka berdua diampunkan, maka Uwais pun mendoakan mereka berdua.
Doa paling utama
Ibrah dari kisah Uwais al-Qarni dan pertemuannya bersama Saidina Umar al-Khattab dan Saidina Ali menggambarkan kepada kita tentang kepentingan doa untuk kita meminta dosa kita diampunkan.
Jika dilihat secara logik, Aisyah dan Umar serta Ali merupakan orang yang sudah dijamin akan masuk syurga, tapi mengapa Baginda SAW menyuruh mereka berdoa untuk diampunkan dosa.
Justeru nak menunjukkan kepada kita tentang pentingnya doa ini. Selalu kita meminta hal-hal dunia, tetapi jarang kita menitikberatkan doa supaya dosa kita diampunkan. Lebih-lebih lagi dalam bulan Ramadhan yang doa amat mudah dimakbulkan, Rasulullah SAW selalu berkata kepada isteri-isteri Baginda SAW dan para sahabat:
فيعجبا لمن أدرك رمضان فلا يغفر الله
“Alangkah hairannya (ajaibnya) bagi orang yang telah sampai umurnya kepada menjelang Ramadan, apabila habis Ramadan dosa-dosanya tidak diampunkan”
Aisyah RA teringin sangat bertemu malam al-Qadr,lalu dia bertanya kepada Nabi SAW: “Bilakah berlaku malam Qadar?”
Nabi SAW bertanya kepada Aisyah RA semula: “Apa yang kamu nak buat bila kamu bertemu dengan malam Qadar?”.
Aisyah RA menjawab: “Saya tak tahu”
Kemudian Aisyah bertanya lagi: “Apakah yang patut saya buat bila bertemu dengan malam Qadar itu?”.
Nabi SAW berkata kepada Aisyah: “Malam itu malam yang amat baik untuk beramal di malamnya dan amat mudah dimakbul Allah (SWT) doanya”.
Aisyah bertanya lagi: “Apakah doa yang paling baik untuk aku berdoa pada malam itu?”
Nabi SAW menjawab: “ Kalau kamu sempat berjumpa dan mengetahui malam itu ialah malam Qadar berdoalah
اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني
(Allahumma innaka ‘afuwwun karimun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni)
“Ya Allah (SWT), Engkaulah Tuhan yang Maha Pengampun, Engkau sangat suka mengampun maka ampunkanlah dosa-dosa ku”
Oleh itu, doa yang paling utama dan dikesempatan Ramadhan ini, mohonlah keampunan sebanyaknya kepada Allah SWT dengan doa yang telah Nabi SAW ajarkan kepada Saidatina Aisyah RA.
Semoga amalan kita diterima dan tidak tergolong dalam golongan yang Nabi SAW katakan tentang kehairanannya apabila sudah masuk Ramadhan dosa-dosa golongan ini tidak diampunkan.
تقبل الله منا ومنكم.. آمين يا رب العالمين
Wallahu a’lam.
Kisah selanjutnya Uwais hanyalah seorang pengembala kambing biasa. Sekali pandang, tiada apa yang istimewa tentang pemuda ini. Namun, dia mencatat sejarah hebat di kalangan manusia. Malah, baktinya yang tersembunyi mengangkat dirinya ke martabat yang amat tinggi. Sehingga Rasulullah SAW sendiri mengiktiraf bahawa memang benar Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit, bukan manusia di bumi!
Ketika zaman Nabi Muhammad SAW, Uwais Al-Qarni tinggal di negeri Yaman. Hidupnya sangat fakir dan dalam keadaan yatim. Dia cuma tinggal bersama seorang ibu yang sudah tua dan lumpuh.
Malahan, ibu tua itu telah buta dan hanya bergantung harap pada Uwais untuk menguruskan kehidupannya. Di situlah mereka dua beranak meneruskan kehidupan tanpa ada sanak saudara. Walaupun miskin, Uwais kaya dengan budi bahasa dan amanah.
Justeru, dia menjadi kepercayaan orang untuk menjaga ternakan mereka pada waktu siang. Upah yang diterima hanya cukup untuk menampung makan pakai mereka sehari-hari. Jika ada terlebih, Uwais akan membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dirinya.
Selain itu, Uwais terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Dia seringkali berpuasa dan malam hari masanya terisi dengan ibadah solat-solat sunat dan tahajud kepada Allah. Tatkala ibunya memerlukan bantuan, Uwais tidak pernah mengeluh dan akan menguruskan ibunya terlebih dahulu sebelum membuat perkara lain.
Sebenarnya, Uwais ada menyimpan satu keinginan. Dia ingin sekali berjumpa sendiri dengan Rasulullah SAW. Malah, hatinya merasa sedih setiap kali mendengar cerita jirannya yang dapat bertemu dengan Rasulullah SAW. Apakan daya, dia tidak boleh meninggalkan ibunya yang uzur dan Uwais redha dengan keadaan itu. Kecintaannya kepada Rasulullah juga bukan calang-calang.
Ketika mendengar Rasulullah SAW tercedera dan gigi Baginda patah di dalam perang Uhud, Uwais lantas mengetuk giginya dengan batu sehingga patah. Ini sebagai ungkapan cintanya kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun dia tidak pernah bertemu dengan Baginda. Kerinduan dan kecintaan kepada Nabi SAW menyebabkan dia bertanya sendiri, bilakah dia akan bersua muka dengan kekasih Allah yang agung itu.
Tetapi seketika kemudian, Uwais kembali sedar bukankah tanggungjawab utamanya adalah berbakti kepada ibunya yang sudah uzur. Mana mungkin dia tegar meninggalkan wanita itu keseorangan. Lagipun, ibu itu amat dikasihi dan dijaga bagai menatang minyak yang penuh saban hari.
Sekian waktu berlalu, kerinduan kepada Nabi SAW yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, memberitahu keinginannya dan memohon izin serta restu agar dapat pergi menemui Rasulullah SAW di Madinah.
Ibunya merasa terharu mendengar permintaan Uwais dan berkata, “Pergilah wahai Uwais, Temuilah Nabi di rumahnya. Kelak, selesai berjumpa dengan Baginda, segeralah engkau pulang ke pangkuanku.”
Izin itu diterima Uwais dengan gembira. Segera dia berkemas untuk berangkat. Dia menyiapkan segala keperluan ibunya dan berpesan kepada jiran agar menemani ibunya selama dia pergi. Sesudah bersalaman dan mencium ibunya, Uwais pun berangkat ke Madinah.
Setelah melalui perjalanan yang jauh, akhirnya Uwais sampai di kota Madinah. Dia terus menuju ke rumah Rasulullah SAW dan mengetuknya. Salamnya dijawab seorang wanita. Itulah Siti Aisyah r.a. Dikhabarkan Rasulullah tidak ada di rumah kerana sedang berada di medan pertempuran. Kecewalah Uwais. Dari jauh dia datang namun Nabi tidak dapat ditemuinya.
Kerana teringatkan ibunya yang sudah tua, hati Uwais serba salah. Perlukah dia menunggu Rasulullah? Di telinganya terngiang-ngiang kata-kata ibunya yang menyuruh dia lekas pulang. Apa khabar ibunya kini? Akhirnya kerana ketaatan kepada ibunya, Uwais berangkat pulang dengan segera.
Kepada Aisyah, dititipkan pesanan dan salam untuk Rasulullah. Tidak lama kemudian, Rasululullah SAW pulang dari medan peperangan. Kedatangan Uwais disampaikan oleh Aisyah.
“Itulah Uwais Al-Qarni, anak yang taat pada ibunya. Dialah penghuni langit,” ujar Baginda SAW. Siti Aisyah dan sahabat tertegun. Nabi berkata lagi: “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah dia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi SAW memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata: “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi SAW kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW mengenai Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi SAW itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan mengenai Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan kambing dan unta setiap hari. Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali r.a, selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka.
Rombongan kafilah itu mengatakan bahawa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni. Sesampainya di khemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tetapi ketika itu Uwais sedang solat.
Usai solat, Uwais menjawab salam Khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi SAW ini dan menghulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabat, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi SAW.
Memang benar! Kelihatan tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni. Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi SAW bahawa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya? Uwais kemudian berkata: “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.
Dalam perbualan mereka, dinyatakan ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Sayalah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang ke sini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Kerana desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan wang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya.
Segera sahaja Uwais marah dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni pun meninggal dunia. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebut-rebut untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafannya.
Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke perkuburan, orang berebut-rebut mengangkat jenazah dan mengiringinya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi peristiwa yang menghairankan. Ramai orang yang tidak dikenali datang untuk menguruskan jenazahnya sehingga ke liang lahad sedangkan selama ini Uwais hanyalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang.
Bermula saat dia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni?
Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala kambing dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.
Mereka datang dalam jumlah yang begitu ramai. Mungkin mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan peristiwa-peristiwa ajaib yang berlaku ketika hari beliau wafat telah tersebar ke serata tanah Yaman. Baru hari itu mereka sedar siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni.
Di hari wafatnya, mereka mengakui bahawa memang benar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW, sesungguhnya Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.

 
 
 
___________________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________________